Kuning adalah seorang anak bungsu dari sebuah keluarga penganut adat dan taat beragama. Sewaktu masih anak-anak, ia merupakan anak yang selalu dibanggakan karena ketaatannya menjalankan perintah agama. Centhani (Ani), kakak perempuannya, sangat sayang kepada adik bungsunya itu. Ani lah yang mendidik Kuning soal agama. Di tempat tinggalnya, ia selalu dihormati warga kampung, karena dialah yang mengajar anak-anak mereka mengaji dan sembahyang. Inilah saatnya Ani bisa bertemu dengan Kuning setelah beberapa tahun lamanya Kuning meninggalkan saudara-saudaranya, hidup sebagai seniman di Yogyakarta.
Kepulangan Kuning kali ini memang sangat diharapkan oleh keluarga itu. Udin, kakaknya, menelegramnya untuk segera pulang. Sebagai seorang ibu yang telah tua dan menjanda, emaknya ingin menjodohkan Kuning dengan Meinar, seorang gadis yang juga didikan Ani. Orang yang pertama kali ditemuinya ketika tiba di rumah adalah Utih, pamannya. Lalu, tak berapa lama kemudian, Kuning bertemu dengan ibunya. Setelah pukul dua belas malam, abangnya, Akbar, yang bekerja di percetakan, tiba. Esoknya, Kuning bertemu dengan Ani. Semua saudaranya mempunyai maksud sama, yakni agar Kuning berumah tangga. Namun, oleh Kuning, keinginan mereka itu ditolaknya. Menurutnya, "hidup itu perlu mengisi dan saling memberi arti dulu pada hidup ini".
Akbar sangat tersinggung meliht sikap adiknya malam itu. Sebab, selama ini ia mengetahui cara hidup Kuning yang bebas tanpa menginginkan adanya suatu pengikatan. Cara hidup yang dilakukan Kuning bersama Marni, wanita yang tinggal di ujung gang rumah mereka. Kuning dan Marni hidup tanpa melalui ikatan yang sah. Terlebih lagi, Ani. Ia sangat tak senang mengetahui cara hidup adik yang disayanginya itu berlumur noda dan dosa. Itulah sebabnya, Ani ingin meluruskan jalan hidup adiknya. Dengan maksud mengawinkan Kuning dengan Meinar, ia berharap, ara hidupKuning dapat berubah.
Akan tetapi, Kuning tetap pada pendiriannya. Ia ingin agar hidup ini tidak selalu menuruti aturan-aturan yang mesti ditaati dan ditakuti sehingga siapa saja yang berbuat kesalahan; terlebih lagi bila kesalahan itu telah melanggar norma-norma, si pelaku layak mendapat hukuman.
Akhirnya, perselisihan pun terjadidalam keluarga itu. Kuning yang keras kepala disatu sisi, sementara disisi lain, Akbar dan Ani tetap memaksakan kehendak mereka. Jika Kuning kawin dengan Meinar, setidaknya nama keluarga yang telah dicemari Kuning, dapat terangkat kembali sebab Meinar seorang gadis yang taat dan berbudi pekerti baik.
Namun sesungguhnya, Meinar bukanlah gadis suci sebagaimana anggapan Ani. Dalam pertemuannya dengan Kuning di pantai, ia mengutrakan bahwa dirinya sudah tidak suci lagi. Dulu, ketika seoang pemua menjalin hubungan akab dengan Meinar, Ani lah yang tidak menyetujui hubungan itu. Di mata Ani, "pemuda pujaan Meinar adalah pemua immoral". Namun, antara si pemuda dan Meinar, telah spakat untuk tetap menjalin hubungan cinta dan Meinar telah memaksa pemuda itu untuk melakukan perbuatan terlarang. Kemudian, pemuda yang sebenarnya moralis itu tak tahan terhadap dirinya sendiri yang telah melakukan perbutan dosa. Rasa berdosa terus menggelayutinya, sampai pada akhirnya ia mengambil jalan sempit, yaitu bunuh diri.
Kuning teramat iba mendengar pengakuan Meinar yang tulus itu. Bahkan, batin Kuning terasa terpukul ketika Meinar mengatakan tentang penyakit alam yang dideritanya., kini telah ikut pula menentukan hidupnya yang tak akan lama lagi.
Dunia semakin terasa sempit bagi Kuning. Untuk itu, ia memutuskan akan secepatnya kembali ke Yogyakarta. Namun sebelum meninggalkan keluarganya, ia sempatkan pamit kepada Marni. Sayang, Marnitak bisa ditemuinya lagi. Rupanya setelah pertemuan mereka beberapa hari ang lalu, Marni tak ingin ditemui oleh siapapun, ermasuk Kuning. Marni mengurung diri dalam kamarnya.
Seminggu setelah Kuning tiba di kotanya, Yogyakarta, ia menerima telegram dan sepucuk surat. Telegram itu daang dari Pak Kadir, orang yang selama ini memelihara Marni, mengabarkan bahwa Marni telah meninggal dunia karena meminum obat tidur yang melampaui dosis. Surat dari Meinar, mengatakan sebelum Marni meninggal, ia ia sempat menemui Marni.
Bagi Kuning, segala pengalamannya itu justru telah membuat dirinya semakin dewasa. Sedikitnya, ia sampai pada kesimpulan, "Ya, manusia tidak butuh saling kasihani, yang perlu ialah saling menghargai. Masih banyak yang harus dirasakan dan dikerjakan dalam hidup ini. Dan aku merasa siap merasakan dan mengalaminya, dengan adaku, dengan kehadiranku, aku sudah tambah dewasa!"
© Pengarang : Nasjah Djamin
Penerbit : Pustaka Jaya
Tahun : 1963
Cetakan : ke II, 1977
Tidak ada komentar:
Posting Komentar